Tidak seperti biasa, pagi ini lambungku terasa sangat nyeri. Aku harus menahannya sampai mengantar anak-anak sekolah. Seusai mengisi bensin, nyeri itu bercampur panas dan memualkan. Oke, aku tak mungkin menahannya hingga sampai rumah. Padahal hari-hari ini adalah program penghematan yang luar biasa. Hehehe.
Lapak ini suka kukunjungi saat aku benar-benar ingin: Lodho Kertosono (maaf, tidak disebut lengkap identitasnya ya). Sambal pecel, tumpang, lodeh, lodho, semuanya mak nyuuuss… Hari masih sangat pagi, pukul 06.15. Bu Darsih (sebut saja begitu) masih belum selesai mengatur semua dagangan, meja, kursi dan perlengkapan lainnya. Ternyata sebelumku sudah ada beberapa yang antri. Hehe, sepertinya suasana pagi ini memang mengundang lapar yang luar biasa.
Aku harus menunggu dengan sabar. Beberapa menit kemudian datang sepasang bapak ibu (perkiraanku, mereka subaya aku) dengan mengendarai motor masing-masing. Sepertinya mereka baru saja berolah raga, ya kulihat kostumnya begitu sih. Tak ada yang istimewa menurutku, obrolan dan sikap yang biasa.
Masih harus mengantri. Kali ini beberapa pembeli sudah menerima pesanannya. Sedang asik-asiknya membaca pesan singkat dari putri kami, Nikita, suara saling sapa riuh memecah suasana. Pasangan itu dengan pasangan bapak ibu setengah baya (sekitar 50 tahun ke atas) yang baru saja datang.
“Aduh… malu aku, kok ketahuan saat di sini,” seru ibu yang datang lebih awal dengan krama madya. Lebih baik kupanggil Nining (daripada tanpa nama).
“Gak papa. Wong hanya sama kita saja lho. Gak usah sungkan,” ibu itu (sebut saja Wiwik) menghibur. Tawa keempatnya pun berderai.
Tapi rupanya tak segera memupus rasa sungkan Nining.
“Lha iya, baru pertama kali ke Lodho Kertosono, kok ya ketahuan,” selorohnya lagi.
“Iya, baru pertama kali ini,” timpal laki-laki yang menemaninya. Jelas itu bukan suaminya.
Ah, peduli amat. Aku menulikan telingaku sambil membalas pesan Nikita. Suara keras mereka benar-benar menggangguku, apalagi topik yang mereka bicarakan.
Aku tak mengerti, mengapa suasana ini membuatku kehilangan selera makan, sedang lambungku benar-benar meronta. Perasaan yang teramat tidak nyaman mendengar guyonan privat yang diobral di ruang terbuka. Berulangkali Nining mengatakan ‘baru sekali ke sini, kok ya ketemu bu Wiwik dengan suaminya’, secara samar mengisyaratkan hubungan yang tak wajar diantara keduanya.
Sepotong kecil ayam lodho itu semakin terasa alot, menyakiti syaraf-syaraf gusiku saat berusaha kulumatkan. Perlu waktu yang lama untukku menyelesaikan sarapanku. Bahkan ketika Nining dan temannya meninggalkan lapak ini, nasi di atas pincukan daun pisangku masih separoh. Bahkan saat bu Wiwik dan suaminya pun bersiap hendak pulang, aku masih juga belum menghabiskannya.
“Dua orang itu memang edan,” seloroh bu Wiwik pada suaminya sambil memasang helmnya.
“Gak takut babar blas!” sambung suaminya…
Ah, kutinggalkan pincukan nasi lodho kertosonoku yang masih tersisa.
“Berapa, bu?” tanyaku ke bu Darsih…
Bu Cut numpang lewat … ingin mengintip blog panjenengan.
Mangga bu Pranti, skalian ngicipi lodho.ne…. hehehe