[KMKR] SULITKAH MENGAJAR MEMBACA DAN MENGARANG?

Selama tiga hari berturut-turut ini, saya bertemu informal dengan beberapa guru dan kami berbagi beberapa hal untuk membangkitkan minat membaca dan menulis pada anak-anak. Tapi sebelumnya saya sempat dihenyakkan dengan jawaban siswa di kelas 1 dan kelas 2 sebuah Madrasah Ibtidaiyah Modern. Saat saya meminta mereka untuk saling mengenalkan diri, dan menyebutkan kesenangan mereka, seluruh anak kelas 2 mengatakan ‘membaca’. Saya gali lebih lanjut, apa saja yang sudah mereka baca. Enam dari 7 (seluruh jumlah siswa kelas 2 adalah 7 anak) anak menjawab ‘buku pelajaran’. Tentu hal ini sangat menarik sekali, mengingat mayoritas pelajar sangat alergi dengan buku pelajaran, bahkan ketika akan menjawab soal-soal di LKS, tidak terlebih dahulu membaca pointer-pointer materi di LKS itu sendiri.

Bagaimana dengan anak-anak kelas 1 yang ternyata ada beberapa yang belum lancar dalam membaca dan menulis? Saat mereka mengenalkan diri dan mengungkapkan kesenangannya, nyaris seratus persen mengatakan kesenangannya ‘menulis’. Saya tanyakan apa saja yang mereka tulis, mereka mengatakan mengatakan ‘hurup A sampai Z’, ada juga ‘menulis latin’.
Luar biasa!!!
Tentu ustadz/ah sudah dengan mudah menemukan titik awal yang bisa dikembangkan lebih lanjut, karena anak-anak sudah menyukai membaca dan menulis. Sedangkan di luar dinding pagar ini, sangat sedikit anak yang dengan kepolosan dan kejujuran mereka sendiri meminati kedua aktivitas itu.
Dan inilah saat yang tepat untuk mengembangkannya tanpa ditunda-tunda lagi. Diantaranya, dengan memperkaya sumber bacaan dengan beragam cara. Yang bisa saya sarankan dan Insya Allah mudah diantaranya:
1.      Digilir, setiap hari satu anak membawa bacaan dari rumah, apapun bentuknya, koran (tidak harus baru), majalah, buku, buku pelajaran kakaknya, apa saja yang dikategorikan sebagai ‘sesuatu yang bisa dibaca’. Lebih partisipatif jika guru juga masuk dalam ‘permainan’ ini. Kemudian sediakan waktu 5-10 menit agar salah satu membacanya di tengah-tengah mereka. Selanjutnya silakan, jika memang masih tersedia waktu dan layak diulas, bisa dilakukan membahasan sekilas.
2.      Merintis perpustakaan sekolah, atau sudut baca kelas, dengan cara yang hampir sama dengan poin [1], atau secara incidental mengadakan gerakan shadaqah/waqaf buku sehingga masyarakat, pemerintah dan dunia usaha mengetahui kebutuhan sekolah terhadap bahan pustaka.
3.      Jika mau mencoba yang satu ini, akan lebih menarik karena memadukan antara membaca dan menulis, yaitu: baik ustadz/ah dan santri secara bekala masing-masing mengumpulkan tulisan berupa cerita pendek, puisi, kisah, dongeng, lalu dibendel dengan sederhana dan dijadikan koleksi perpustakaan. Jika rutin tiap minggu, Insya Allah setidaknya sekolah akan mempunyai 30-40 koleksi dari karya guru-siswa. Apalagi jika ada 6 kelas, setahun sudah terkumpul lebih dari 180 koleksi!!!
Saat saya bertemu dengan guru lain, pertanyaan ini muncul,“Mengapa mengajari anak mengarang itu sulit, ya Bun?”
Ketika saya tanyakan apakah ibu mengalami kesulitan yang sama dalam mengajar membaca, beliau menjawab ada anak-anak yang memang mengalami kesulitan besar, tapi secara umum lebih mudah dibanding mengajari anak mengarang.
Hm, saya benar-benar harus memetik ide dari langit untuk menjawab pertanyaan ini.
Menurut saja, mengajar membaca itu nyaris sama dengan mengajar angka dan berhitung, menggunakan simbol dan rumus. Yang digunakan akan adalah pengenalan simbol-rumus, daya ingat dan kecepatan menggali ulang rekaman ingatan tersebut.
Ini berbeda dengan mengarang, dimana tidak ada rumus yang benar-benar baku untuk diingat anak-anak sebelum dan sesaat mereka mengarang. Justru, ketika semua rumus itu diingat selama proses mengarang, anak-anak lebih sering kehilangan hal yang paling berharga dalam menulis, yaitu ide, alur, dan mood.
Dalam mengarang, bukan tidak mungkin satu anak bisa memunculkan lebih dari satu ide dalam durasi waktu singkat, yang belum tentu terpikirkan ban terimajinasikan oleh pembimbing atau guru. Saat hendak membimbing mereka untuk mengembangkan satu ide menjadi sebuah tulisan yang layak, benar, logis, pembimbing lah yang jutsru memasuki alam pikir anak-anak dan mencari simpul-simpul untuk dikaitkannya dengan rumusan penulisan. Karena itu mengapa, membimbing menulis yang sebenarnya, bukanlah membimbing sekedar pada persoalan kebakuan kalimat dan EYD saja.
Jika memang demikian, saya pun mengakui, membimbing menulis atau mengarang pada anak-anak tidaklah segampang mengajar membaca dan menulis kalimat, atau mengajar angka dan berhitung. Tetapi sebesar apa pun tantangannya, membimbing mengarang pastilah sesuatu yang super fantastis.
Di kesempatan itu, saya coba tanyakan apakah ibu juga suka mengarang. Beliau menyatakan tidak memiliki waktu yang cukup —karena kesibukan sekolah dan domestik— untuk menulis. Yang sering tidak kita sadari adalah menularkan apa yang ada dalam pikiran kita, penilaian terhadap apa yang kita alami, kepada orang lain dan anak-anak. Jika sesuatu menyenangkan dan mudah bagi kita, maka kita akan katakan ke mereka ‘sesuatu’ itu sangat menyenangkan dan mudah. Demikian pula sebaliknya, jika sesuatu itu merepotkan dan sulit, kita akan katakan demikian kepada mereka.
Jadi bu, saya akan katakan kalau mengajari anak mengarang itu sama mudahnya dengan mengajarinya membaca huruf. Bedanya, saat membimbing mereka, ada satu waktu di mana kita yang belajar dari mereka, yaitu ketika kita menggali alam pikiran mereka untuk membimbingnya menemukan ide, alur, tokoh dan keutuhan ceritanya.
Sekali lagi ini tak sama dengan membimbing materi lainnya, karena setiap anak khas dengan idenya masing-masing. Jadi….. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *