[Cerpen] JANJI JOKO PADA KEMBANGSORE[1]

Masih diraba-rabanya telapak tanganku, lalu diremasnya lembut. Mata teduhnya miling-miling seperti mencari sesuatu di mataku.
“Tanganmu, nduk,” gumamnya. Aku tersenyum, mengerti apa yang akan dikatakannya. Dari telapak tangannya aku bisa merasakan seperti apa kini diriku. Ibu selalu mencegahku untuk mengerjakan apapun, karena ia tak ingin diriku menjadi seperti dirinya, permukaan kulit telapak tangan dan kaki yang menebal dan kasar, serta otot yang terlatih membuatnya jauh dari kesan kelembutan.

Dalem ingin seperti ibu,” kataku melebarkan sebentuk kebahagiaan yang ditampakkan di bibirnya.
Bocah ayu, bidadari yang dikirim Gusti Kang Maha Agung,” gumam ibu lagi. Kusaputkan ibu jariku ke bawah kelompak matanya begitu sebutir mutiara meluncur meninggalkan wadahnya. Sesontak rasa membuncah saat terbayang sosok yang hangat, seteduh ibu, yang akan menjadi tempatku meluruhkan segala gundah. Bayu senja menyentilku dengan kabar seorang ibu yang dirundung pilu karena anak gadisnya yang menghilang. Kutumpahkan gulana yang mendadak merangsek di dalam dada dalam pelukan ibu. Kaget, tubuhnya mengejang. Lalu lunglai pasrah saat aku mendekapnya dalam bisu.
Sajianku senja ini masih menggunakan bahan yang sama seperti kemarin dan sepekan ini, daun pepaya. Olahan pertama yang ditunjukkan ibu sehari setibanya tubuh penatku menemukan bangunan bambu sederhana ini. Kuingat tatapan terperangah ibu menatapku, kaget bercampur takut hingga wajahnya memias, sampai kusentuh tangannya, kucium dan kukatakan bahwa diriku adalah jalma sepertinya. Ia tak yakin, dan akan menyebutku midadari karena menurutnya yang sepertiku hanyalah bidadari atau putri seorang ratu. Hatiku berdesir.
“Kudengar, putri adipati juga cantik. Tapi… ibu belum pernah melihat wajahnya. Ibu kira, masih lebih ayu dirimu. Mana mungkin seorang putri adipati bisa keluyuran keluar kadipaten? Tentu itu bukan dirimu,” katanya mengalun antara tanya dan jawab tanpa berharap reaksi apapun dariku. Sebaiknya ibu meyakini apa yang ibu katakan, harapku.
Ibu hanya akan ke pasar untuk membeli beras, pindang atau teri. Sebagian kebutuhan dapur, dapat dengan mudah diperoleh di sekitar gubugnya yang di dalamnya hanya tersedia satu bilik tempat aku dan ibu meloloskan lelah. Di luar bilik, ada sebuah dipan bambu untuk kami bertiga berkumpul menyantap hidangan, seperti senja ini, dan lelapnya anak lelaki ibu kala malam kian melarut. Tidak ada perabot lain di petak yang lembab saat malam mulai merayap, kala kakiku tanpa alas memijak tanah tempat gubug ini memancang.
“Hm, masakanmu selalu aneh, tapi enak, Ayu,” puji Joko dengan ucap yang terbata-bata dan gaya gerik yang melarakan hatiku saat pertama kali melihatnya. Ia memanggilku sebagaimana ibu, Ayu. Sebaiknya kalian tetap memanggilku demikian, harapku.
“Benar, nduk. Rasanya… kau seperti menyarupkan beluntas ya?” ibu mencecap-cecapkan lidahnya, mencoba menemukan rasa di tengah rasa pahit daun pepaya. Lalu didekatkannya sesuap lauk ke ujung hidungnya. “Baunya menghilang. Dengan apa kau menyampurnya?” Kugelengkan kepalaku, karena aku memang tak mampu mengingat apa-apa yang kukuliti, kutumis sebelum kulembutkan. Bahkan aku tak pernah menyangka campuran kedua daun itu akan menghasilkan cita rasa semacam ini dan menghilangkan aroma asli beluntas, tanaman yang memagari seluas halaman belakang tempatku dilahirkan. Semuanya kulakukan sekehendak hatiku, semauku, tanpa tuntunan dan ukuran. Ibu manggut-manggut.
“Ibu mengerti. Hidup tak selalu pahit, hidup tak selalu manis. Citarasa pahit, manis,” tuturnya setelah menelan sesuap di mulutnya. Joko tak menghiraukan sebagaimana aku yang menghentikan gerak tanganku. Ia benar-benar menikmati tanpa merasa perlu untuk berkomentar lagi.
“Apa hubungannya dengan masakanku, bu?” Aku harus menunggu jawabannya sampai ibu menelan suapan berikutnya.
“Kamu tidak memerlukan siapapun untuk mengajarimu memasak. Cukup dengan kata hatimu. Hatimu… guru yang tak pernah salah menuntunmu.” Seperti membuka kitab yang berisi ajaran kebijaksanaan yang biasa kupelajari saat pagi dan petang.
“Seperti dia,” kata ibu kembali sambil mengarahkan pandang ke Joko yang bergeming dalam kekhusukan. Bukan lagi lara yang kurasa setelah menelusuri kehidupannya dalam sepekan. Aku seperti melihat diriku sendiri dalam rupa yang lain.
Sekilas memandangnya, ia tak beda dengan pemuda yang kutemui sepanjang perjalanan. Rambut mengombak yang dibiarkan tergerai melewati pundak, hanya disibak dengan secarik kain yang diikatkan di ujung kepala menutupi dahinya. Berkulit sebagaimana kebanyakan laki-laki yang menghabiskan waktu dengan jerangan matahari, dan mungkin itu sebabnya sebagian kulit wajahnya yang lonjong bagai telur bebek dan ditumbuhi kumis dan cambang menjadi agak belang. Kata ibu, Joko paling malas menggunakan capil. Tapi, siapa saja baru akan tahu bahwa lelaki ini ditegarkan oleh alam dalam wujudnya yang berbeda karena kelainan yang menempel pada tubuhnya. Kaki kanannya yang sedikit lebih kecil dan agak bengkok menyebabkannya berjalan gontai dan tak mampu berdiri benar-benar tegak. Dengan bersedekap, ia menyempunyikan tangan kirinya yang kaku, hingga sulit untuk diluruskan. Kelopak mata bagian atas melengkung ke bawah, memberi kesan memelas dan pemalas. Ia akan sedikit mendongakkan kepalanya untuk memperjelas pandangan matanya saat berbicara dengan seseorang.
Aku sempat merasakan lara dan membuatku tak tega untuk melabuhkan diriku pada ibu yang sudah tua itu. Tapi ia segera menyadarkanku, ada dia yang selama ini telah menjaga dengan ibunya dengan sangat baik. Ia lah yang mencarikan segala hasil bumi yang akan dijual ibunya ke pasar untuk dibelikan beras dan kebutuhan mereka berdua. Ia bahkan dengan lincah sanggup memanjat pohon kelapa yang liar tumbuh di tepian bukit tak jauh dari gubug mereka tinggal. Lalu ia dan ibunya akan membawanya ke pasar, menjualnya, membelanjakannya dan sisa kepengnya akan dibawa pulang, disimpan untuk dibelanjakan sewaktu-waktu saat membutuhkan. Ibu pernah cerita, saat ia terkilir ketika menuruni bukit setelah memunguti ketela yang dicabut Joko, Jokolah yang menggendongnya dan berlari dengan panik ke seorang sangkal putung yang jauhnya lima kali lipat antara gubuk dan bukit itu ke arah selatan.
Aku mulai mengaguminya seiring kepercayaanku akan kepantasan Joko seperti lelaki pada umumnya, bahkan mungkin lebih dari mereka. Caranya memerlakukanku membuatku merasa nyaman meski tanpa kehadiran ibu. Aku menghormatinya layaknya sosok seorang kakang. Hingga aku tak segan mengisi waktu luang yang kami punya untuk bercerita satu sama lain tentang segala hal yang terjadi. Selama di sini, Joko telah menjadi mata dan telingaku, sehingga tak ada yang luput sekecil apapun segala kejadian dan isu-isu yang dihembuskan dari kadipaten. Ia tak pernah menaruh curiga dengan pertanyaanku yang penuh selidik hingga dijawabnya dengan sangat lugas.
Ia pun mulai menceritakan keinginannya untuk menjadi prajurit seandainya saja ia tidak seperti saat ini. Tapi kemudian ia merasa bersyukur, jika dirinya sesempurna lelaki lainnya, ia tak akan punya kesempatan menyenangkan ibunya.
Ibu… Suara lirih di kedalaman ruang sepiku itu bagai semburan debu lembut yang makin mengental hingga membuatku susah bernapas. Setiap kali Joko menasbihkan kata itu, seakan memelantingkanku di kecuraman jurang yang mematikan. Aku hanya berharap, semua yang hadir saat itu, segera beralri ke timur dan mengabarkan tentangku pada ibunda bahwa aku baik-baik saja dan menunggu waktu untuk bersujud meminta ampunannya.
[***]
Cericit burung-burung yang bertenggeran di ranting pepohonan besar di sehamparan tanah yang membentang antara gubug dan bukit menghalau kesenyapan pagi, menggantikan kokok ayam jantan dari rumah-rumah yang berjarak saling berjauhan. Semburat cahaya putih memahkotai bukit, saat aku menatap ke arah timur, menunggu datangnya ibu dan Joko. Gelap masih membungkus hari saat keduanya pergi ke kaki bukit untuk menuai beberapa hasil bumi yang akan dijualnya di pasar pagi ini.
Pada sebongkah besar batu hitam di samping gubug aku duduk dan kusandarkan punggungku padanya. Purnama sudah berganti bulan mati. Kabar pencarian diriku masih sering kudengar dari Joko. Mereka bukan saja menyebar para punggawa untuk menemukan diriku, tapi menurut Joko, kadipaten mulai menyusupkan orang-orang khusus untuk membaur bersama rakyat. Hanya masalah waktu, akhirnya mereka juga akan menemukanku.
“Apa kamu akan pergi?” Joko tiba-tiba menanyakan hal itu beberapa hari lalu setelah menyeritakan apa yang baru saja ia dengar di seputaran pasar tentang telik sandi yang disusupkan sang adipati. Aku terkejut mendengar pertanyaannya.
“Pergi ke mana?” balasku sambil meraba, apakah Joko mulai meramalkan jati diriku. Joko tersenyum sambil memainkan anak ranting pohon trembesi yang baru saja dipatahkannya dari pohon induknya.
“Ya, kemana saja sesuai dengan kata hatimu,” katanya. Tentu tak salah lagi, Joko menyimpan sesuatu yang sangat aku khawatirkan. Meskipun sangat ingin aku mengetahuinya, aku harus menahannya sampai Joko mengatakannya sendiri.
“Aku akan di sini.”
“Sampai kapan?” Kurasakan ada sesuatu yang mendesaknya dari tanyanya.
“Aku tidak tahu, kang. Aku hanya mengikuti jalan nasib seperti saat aku tiba di sini. Tak ada rencana secuilpun. Karena itu, aku tidak bisa menjawab tanyamu dengan pasti.”
Kuhembuskan udara hangat dari dalam dadaku yang mencipta asap di kedinginan embun pagi. Mulai kutelusuri kemungkinan ibu dan Joko mengenali siapa Ayu ini. Aku meyakini kebenaran warta demi warta yang Joko bawa untukku. Ia mendapatkannya dengan mudah di pasar jika hasil tuaiannya sangat berat untuk ibu bawa. Terkadang ia dengan sengaja memburu kabar itu, pergi ke pasar tanpa harus bersama ibu. Pasar, bagi kami adalah sumber penyebaran berita. Musykil rasanya ibu dan Joko tidak mengaitkan kehadiranku yang tiba-tiba bagi mereka dengan wara dari kadipaten dan upaya mereka menemukan putri sang adipati. Ibu mendiamkannya dan Joko mencemaskan sesuatu, yaitu kepergianku.
Rupanya, aku takkan bisa menghindar dari garis takdirku ini. Hari ini, kurasa langit memintaku untuk meninggalkan mereka. Jika tidak, langit akan murka karena aku membuat mereka dalam masalah besar jika kadipaten tahu aku di sini. Mereka akan dituduh menyembunyikanku. Itu petaka buat mereka. Ya, aku harus segera pergi usai kubuatkan menu ‘pahit manis’ untuk ibu dan Joko.
Suara Joko dari kejauhan meruntuhkan tumpukan pikiran yang menyesaki kepalaku. Surya yang perlahan merambat di langit timur memperjelas bayangan ibu dan Joko. Kutegakkan punggungku hingga keduanya menyadari, aku tengah memerhatikan mereka. Dengan tangannya yang kaku, Joko menunjukkan karung yang dipikulnya. Melihat tonjolan-tonjolan tajam, itu pasti ketela pohon. Sementara ibu memenuhi kedua tangannya dengan beragam dedaunan, sekilas tampak daun ketela pohon yang dilolosi dari tumbangan pohonnya.
Segera kuraih semua semayur dari tangan ibu begitu keduanya sampai.
“Ikatlah beberapa. Aku dan Joko akan membawanya ke pasar,” kata ibu. Seperti biasanya, aku segera mengambil gedebog yang sudah dikeringkan sehingga seratnya bisa disuwir untuk tali. Ibu pernah mengajariku bagaiman mengikat sayur-sayuran yang akan dijual ke pasar. Aku hanya menyisakan untuk dimasak hari ini yang akan habis keesokan harinya. Sayur blendrang lebih terasa lezat di lidah, itu karena resapan bumbunya sudah benar-benar menyatu.
Sementara itu Joko melepaskan ketela-ketela itu dari pohon induknya. Ya, biasanya seusai mencabut pohonnya, ia akan memotong pohonnya saja sehingga ketela-ketela itu masih melekatinya. Baru sesampai di rumah, Joko akan memisahkan mereka, membersihkan tanah-tanah yang mesih melekatinya baru kemudian dimasukkan kembali ke karung untuk di bawa ke pasar.
“Jangan sampai ketelanya luka,” katanya suatu ketika saat kulihat ia begitu hati-hati membersihkan tanah-tanahnya.
“Kenapa?”
“Ketela akan masuk angin, rasanya pahit. Kalau sudah begitu, ya dibuat gaplek saja,” jelasnya dengan nada terpotong-potong seperti biasanya. Aku tak segera mengerti maksudnya, hingga suatu hari ini menunjukkan ketela yang berwarna keunguan. Lalu ketela-ketela itu dikupasnya, direndamnya untuk beberapa saat lalu dijemurnya beberapa hari hingga benar-benar kering. Barulah aku ingat saat aku dan ibunda makan sega gaplek di suatu ketika, hanya sekedar membunuh rasa kangen ibunda pada makanan masa kecilnya.
Ibu dan Joko sudah bersiap hendak ke pasar. Mereka seperti berkejaran dengan matahari.
“Kau masaklah dengan cita rasamu, nduk Ayu. Joko akan segera kembali. Ia cukup mengantar ibu dan membawa dagangan yang berat ini,” kata ibu saat hendak meninggalkanku.
“Iya, bu. Kita akan makan siang dengan nikmat,” kataku, tersenyum, sambil melintaskan angan, bagaimana aku bisa meninggalkan mereka hari ini?
Tangan, hati dan pikiranku sedang bekerja sendiri-sendiri saat aku berusaha membuat sajian istimewa di hari terakhir aku bersama mereka. Beberapa kali aku menghentikannya, dan memaksa hati dan isi kepalaku tidak saling memperebutkan daya hidupku, sebelum kemudian aku melanjutkan memotong seluruh daun pepaya dan ketela. Kemudian aku memarut kelapa dan membumbuinya hingga memunculkan warna merah menggoda karena cabai merahnya. Aku tak membuang waktu. Setelah mencampurkan dengan kukusan kedua daun tadi, aku segera melintinginya dengan daun pisang, dan memanggangnya. Aroma daun pisang yang disentuh api mengingatkanku pada suasana lembab yang mendadak, seperti tanah yang tersiram air hujan untuk pertama kalinya. Aku tak menghilangkan kesempatan ini untuk membauinya, dan menyimpannya di kedalaman ingatanku.
Baru saja aku menyelesaikannya dan bermaksud untuk meloloskan seluruh aroma asap yang disekap keringat hingga menempeli tubuhku, kudengar suara Joko memanggilku dari luar.
Ayu… Putri Roro Kembangsore…” Aku bagai merasakan seluruh tulangku dicabut dengan paksa dari dagingku. Lemas seketika. Apa yang kuduga kini terjadi sudah. Joko hanya memerlukan waktu untuk mengatakan apa yang ia ketahui. Aku terpekur membisu. Dan mendadak Joko sudah berdiri di hadapanku. Badannya gemetar. Napasnya ngos-ngosan naik turun tak karuan. Demi melihatku, ia menundukkan kepalanya, dan berlutut.
Pangapunten yang besar, Putri Roro Kembangsore. Pangapunten,” katanya. Perlahan ia erusaha kembali berdiri.
Kang Joko tahu,” gumamku dengan gemetar.
“Iya. Ibu juga tahu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak kabar kadipaten menyebar mata-mata ke warga.” Kutatap tajam wajahnya yang kemilau oleh cairan yang memaksakan diri keluar dari lubang-lubang kecil di kulit wajahnya.
Sepertinya, hari ini sudah memang tetapan berikutnya yang harus kujalani.
Kang mas mata-mata kadipaten?” mataku menatap tajam ke arahnya. Joko menggelengkan kepala.
“Kalau aku mata-mata, aku akan berbohong seumur hidupku.”
“Kenapa?”
“Karena… karena…,” kudengar suaranya yang gemeragap dari sebelumnya. Sesaat kulihat dirinya jauh berbeda dari sebelumnya. Joko yang selalu ceria, polos, berbicara apa pun yang tersimpan di hatinya tanpa tedeng aling-aling, kini ia seperti sedang memunguti kata-kata yang teserak.
Kang, aku tak punya banyak waktu,” kataku kemudian. “Katakanlah,” pintaku.
“Hari ini takdirku. Aku harus mengatakannya padamu, Roro Kembangsore,” katanya, menyebut namaku dengan apa adanya, menyentakkanku, mengingatkanku pada sosok yang mungkin saat ini telah digulung gelombang lautan. Makin kuyakini, hari ini adalah takdirku untuk melanjutkan langkah hidupku.
“Apa itu, kang?” Aku seperti sedang menyiapkan diri untuk dilesatkan sejauh gendewa yang akan dipenthang olehnya.
“Roro Kembangsore, aku tresna sliramu.” Sekejap aku bagai melihat iringan awan kelabu beRorok melintasi gubuk tempat kami berdua berdiri saling terpaku. Dan benar saja, aku sudah dilesatkan dalam rajutan sarang yang membuatku tak mampu menggerakkan diri sedikit pun.
“Aku ingin Putri mau menjadi istriku.” Semakin kugerakkan, sarang itu semakin mencengkeramku kuat. Semakin kugerakkan, semakin kugerakkan, sarang itu semakin mencengkeramku kuat.
Kangmas Lembu Peteng… takdirku masih akan mengalir dan entah akan bermuara ke mana.
Kulihat matahari di balik pintu sudah melewati batas seukuran tinggi pepohonan. Kucoba menguatkan kakiku yang memasak lemah di tempatku memijak.
“Seberapa besar tresnamu, kang?” tanyaku sambil menelusuri lorong pikiranku, menemukan celah aku bisa melanjutkan takdirku.
“Roro, apapun yang kamu minta, akan kuturuti,” suaranya teguh bersamaan dengan kutemukan setitik bercak putih. Duh Gusti Kang Maha Agung, ampunilah aku.
“Jika memang begitu kang, aku harus menyelesaikan janjiku pada diriku yang tak mungkin kukatakan padamu. Aku minta kamu mau menungguku. Tunggulah aku dan lakukanlah tapa bisu di bukit itu,” kataku begitu mengalir bagai dituntun oleh cercah terang di lorong kepalaku. Joko memalingkan wajahnya, memandang ke arah bukit, di mana di lembahnya kami sering menuai makanan untuk dijual dan dimasak.
“Lalu kamu, Roro?” tanyanya sambil kembali memandangku dengan tatapan cemas.
“Jangan khawatirkan aku. Aku bisa mnejaga diri dan menghindari para teliksandi dan orang-orang kadipaten. Aku akan pergi ke arah barat. Ke bukit yang ada di sebelah barat sana,” kataku dengan mengacungkan telunjukku ke arah barat. Surya di mata Joko nyaris meluruhkan semangatku, kulihat bayangan ibu yang pasti akan kecewa dengan kepergianku.
“Lakukanlah, kang, jika memang kang Joko tresna padaku.” Kulihat anggukan kepalanya tanpa ragu. Sesaat ia menuju ke arah dipan, mengambil caping yang disangkutkan di dinding bambu.
“Roro, aku akan turuti permintaanmu. Berhati-hatilah di jalan. Aku akan mengawasimu dari bukit itu,” katanya sebelum kemudian dengan lari terpincang ia melesati rerimbunan pohon perdu, dan hanya beberapa saat kemudian ia telah melenyap dari pandanganku.
Tak lagi aku membuang waktu. Kukurung sudah keinginan membasuh diri. Segera kuraih kain yang kubawa ke sini untuk pertama kali, yang terlipat rapi di amben ibu. Kurapatkan pintu dan aku langsung melangkah cepat tanpa menengok lagi kea rah belakang. Kutelusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang. Jalan yang pernah ditunjukkan Joko beberapa hari lalu. Tentu, saat itu dia sudah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya.
Ini adalah jalan yang kutemukan, ke arah barat. Di sebelah kanan kita, adalah sungai. Tapi jangan ikuti sungai. Banyak orang, katanya saat itu. Maka saat ini kuturuti kata-katanya. Langkahku semakin cepat. Setelah kusadari waktu sudah membuatku merasa cukup jauh dari gubuk itu, aku berhenti untuk sesaat. Rasa haus mencekat kerongkongan. Tapi aku tak membawa apapun untuk bisa menutupi lapar hausku. Ku arahkan pandangaku ke bukit, di mana Joko melakukan tapa bisu. Samar kulihat dirinya, sebuah titik yang jelas.
Maafkan aku, Joko. Maafkan aku, ibu. Kubalikkan badan kembali untuk melanjutkan perjalananku. Tujuanku adalah bukit yang terletak di sebelah barat sana. Di sana, aku akan melakukan janjiku padaku sendiri, untuk menemukan ketentraman setelah lakon hidupku merenggut semua yang mampu menyelaraskan gelap terang, siang malam, hening riuhnya di dalam diriku.
Jdaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr…………
Tersentak aku. Dentuman yang melonjakkanku dari tempatku berpijak. Suara itu dari arah timur. Kutolehkan wajahku. Awan hitam yang dikelilingi awan putih tepat berada di atas bukit tempat Joko memenuhi permintaanku. Jantungku berdetak dengan kencang. Apa yang terjadi? Sesaat kemudian awan hitam itu melenyap. Dan sesuatu yang menggumpal di hatiku meluruhkan kekuatanku. Kusimpuhkan diriku, kuhanyutkan hati dalam isakku….
Maafkan aku, ibu. Maafkan aku, Joko…… [*****]
Bukit Bolo di desa Bolorejo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung. [koleksi pribadi]
Gunung Cilik di Bolo, Desa Bolorejo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung. [koleksi pribadi]

[1] Diinspirasi kisah legenda Roro Kembangsore dengan Joko Budheg. Kisah ini semata adalah legenda yang diceritakan secara turun-temurun. Penulis murni mengolah ulang secara fiktif-imajinatif. Tidak pernah ditemukan catatan histori yang dapat dipertanggungjawabkan tentang ini. Gunung (bukit) terletak di Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Sementara tempat Roro Kembangsore bertapa, menjadi Resi Winadi hingga meninggal, terletak di Gunung Cilik,  Desa Bolorejo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.

4 thoughts on “[Cerpen] JANJI JOKO PADA KEMBANGSORE[1]

  1. Kisah tempo doeloe yang so sweeeeeeeeeeeeeeeet. Aku jadi termehek-mehek saat dan usai membacanya. Jadi membayangkan aku menjadi Joko, yang lagi kasmaran kepada Putri Roro Kembangsore.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *